Pengurus Jenazah Terlantar
Kisah – Selama tiga dekade, Abdul Malabari telah menjadi pengurus dari jasad-jasad yang ditelantarkan di India. Di masa Pandemi COVID-19, Pekerjaannya bertambah karena tidak semua petugas mau untuk mengurus pasien terinveksi pasien Virus Corona.
“Pekerjaan saya tidak memiliki jam kerja yang pasti,” kata Abdul, 51 tahun. “Segera setelah kami mendapat telepon, kami langsung menyiapkan peralatan dan berangkat.”
Baca juga : Sterilkan Ka’bah dari Virus Corona, Sheikh Pakai Teknologi Ozon
Abdul merupakan petugas dari salah satu yayasan sosial di wilayah Surat, negara bagian Gujarat di India bagian barat. Dia lebih dikenal dengan panggilan Malabari.
Di Surat, sejak pandemi merebak, tercatat 19 kematian dan ada 244 kasus infeksi. Sementara di Gujarat ada total 3.548 kasus positif Covid-19. Malabari kini mendapat bantuan dari saudaranya, Abdul Bhai untuk mengurus jenazah akibat Covid-19.
Seperti dikutip BBC, Rabu (29/4), Malabari mengatakan, mengurus jenazah akibat virus corona sudah menjadi tugasnya dan dia memahami risiko. Demi mencegah penularan, Malabari dan timnya kini terpaksa makan dan tidur di kantor yayasan sosial mereka, untuk melindungi keluarga mereka dari infeksi.
Berawal dari Mengurus Jenazah HIV
Kisah Malabari menjadi pengurus jenazah telantar berawal 30 tahun lalu. Saat itu, virus HIV sedang merebak dan menular di India.
Jenazah pertama yang dia urus adalah perempuan bernama Sakina, yang menderita HIV. Suami dan putranya membawanya ke rumah sakit, tetapi kemudian menghilang. Upaya untuk melacak mereka setelah kematian Sakina tidak membuahkan hasil.
Jenazah Sakina telah dibiarkan di kamar mayat selama sebulan. Tidak ada yang mau mengurus dan memakamkan. Pejabat lokal yang putus asa membuat pengumuman di surat kabar untuk sukarelawan Muslim agar membantu mengurus pemakaman Sakina.
Malabari, yang saat itu baru berusia 21 tahun, melihat pengumuman itu dan merasa tersentuh. Dia kemudian menghubungi satu-satunya organisasi di wilayah Surat yang mengubur mayat-mayat yang ditelantarkan. Tetapi mereka mengatakan kepadanya orang yang melakukan pekerjaan itu sedang pergi.
“Saya merasa itu tidak adil,” kata Malabari. Dia kemudian pergi ke rumah sakit dan memberi tahu para pejabat bahwa dia akan mengurus jenazah dan mengubur Sakina.
Saat tiba di kamar jenazah, Malabari mengenang, kondisi jasad sudah sangat busuk. Namun dia tidak mengurungkan niatnya. Dia kemudian bertanya kepada para wanita pengurus jenazah, bagaimana cara memandikan jenazah sesuai syariat Islam. Tetapi mereka menolak membantu dengan alasan Sakina menderita HIV, yang saat itu masih sedikit dipahami pada tahun 1990.
Malabari akhirnya memutuskan untuk melakukannya sendiri. Dia memandikan jenazah dengan menuangkan air ke tubuh Sakina, sebelum membawanya untuk dimakamkan.
Setelah pengalaman pertamanya memandikan jenazah yang ditelantarkan, Malabari menyadari, wilayah Surat tidak bisa hanya mengandalkan satu orang untuk pekerjaan ini. “Butuh waktu seharian, dan aku juga sadar aku tidak bisa melakukan ini sendirian.”
Dia kemudian memutuskan mulai mendirikan yayasan sosial. Dia mengatakan keluarganya, yang menjalankan bisnis tekstil, awalnya menentangnya.
“Saya ingat mengatakan kepada mereka bagaimana Islam mengatakan bahwa setiap orang memiliki kewajiban untuk membantu dan mengurus pemakaman seseorang dengan kemanusiaan dan rasa hormat. Saya hanya melakukan itu sebagai sesama manusia,” tuturnya.
Mengurus Jenazah COVID-19
Saat wabah virus corona meluas, Malabari dan timnya mempelajari cara mengurus jenazah orang yang positif Covid-19. Meskipun para ahli kesehatan mengatakan virus tidak dapat menular setelah kematian, virus itu dapat bertahan hidup dengan pakaian selama beberapa jam. Jadi, begitu jasad disegel dalam tas, tidak seorang pun, bahkan keluarga, dapat melihatnya.
Malabari dan timnya mengenakan masker, sarung tangan dan baju pelindung. Mereka juga telah dilatih tentang cara mempersiapkan tubuh. Pertama, mereka menyemprot tubuh dengan bahan kimia dan kemudian membungkusnya dengan plastik untuk menghindari kontaminasi, sebelum membawanya dalam salah satu dari dua van yang disediakan untuk korban Covid-19. Kendaraan dibersihkan usai perjalanan, dan pemakaman atau krematorium didisinfeksi setelah setiap pemakaman.
Saat bertugas, Malabari kerap mendapat halangan dari warga yang berada di sekitar area pemakaman. Namun dia mampu menyelesaikan dengan dialog.
Bagian tersulit dari tugasnya kini adalah, berurusan dengan keluarga yang tidak bisa mengucapkan selamat tinggal, karena banyak dari mereka juga berada di bawah karantina.
“Mereka banyak menangis dan ingin melihat jenazah. Kami menjelaskan kepada mereka bahwa itu untuk keselamatan mereka sendiri dan meyakinkan mereka bahwa kami akan membuat pemakaman sesuai dengan aturan agama mereka,” ujarnya.
Dia mengatakan kadang-kadang anggota keluarga diizinkan untuk mengamati dari jauh: “Kami membawa mereka dengan kendaraan yang terpisah dan meminta mereka untuk berdiri jauh dan berdoa.
35 Relawan lintas Agama
Banyak hal telah berubah banyak di Surat sejak ia menguburkan Sakina bertahun-tahun yang lalu. Sekarang, katanya, ketiga anaknya, seorang putri dan dua putra, bahagia dan bangga terhadap apa yang dia lakukan.
Sejak saat itu, kegiatan sosialnya telah berkembang menjadi 35 sukarelawan dan memiliki sekitar 1.500 donor, serta bantuan dan dukungan dari para pejabat.
Apa yang paling ia banggakan, tambahnya, adalah bahwa timnya mencakup orang-orang dari semua agama dan kasta. “Kami memiliki sukarelawan Hindu yang mengubur mayat-mayat Muslim, dan sukarelawan Muslim yang mengkremasi jasad Hindu.”
“Menemukan mayat di sungai dan kanal, di rel kereta api. Kami terkadang berurusan dengan mayat yang membusuk.”
Dia mengatakan, selama puluhan tahun mengurus jenazah telah mempengaruhi tidurnya, nafsu makan dan bahkan kemampuannya untuk menikmati waktu bersama keluarganya. Tapi Malabari tak pernah terpikir untuk berhenti.
“Dalam hati, saya merasakan kepuasan dengan melakukan ini. Tidak ada hal lain yang bisa memberikan perasaan seperti itu,” tutupnya.
Sumber : merdeka.com